Monthly Archives: April 2009
SBY, Tyson, and Federer
SBY sudah pasti beda dengan Mike Tyson atau Roger Federer. Tapi, dari segi kekokohan posisinya saat ini, terdapat kesamaan antara SBY dengan Tyson dan Federer.
Di masa jayanya era 80-90 an, sangat sukar mencari lawan sepadan bagi si leher beton Mike Tyson. Demikian halnya Federer, sebelum Rafael Nadal betul-betul matang, tak satupun yang mampu menandingi kehebatan petennis Swiss itu.
Tyson dan Federer di masa jayanya benar-benar tak bisa ditandingi. Hal yang serupa tapi tak sama, kini berlaku bagi SBY. Saat ini, rasanya sulit mencari lawan sepadan bagi mertua Annisa Pohan itu, pada Pilpres nanti.
Kalau cuma berhadapan dengan Mega, hampir dapat dipastikan SBY akan dengan mudah mengalahkannya. Jika dihadapkan dengan Prabowo atau Sultan sekalipun, kelihatannya SBY tetap akan keluar sebagai pemenang.
2004 hingga 2014, tampaknya sudah ditakdirkan sebagai era kedigdayaan SBY. Berkat SBY pula, Partai Demokrat melesat bak meteor. Tanpa SBY, Partai Demokrat tentu tidak akan sehebat sekarang.
Karena posisinya yang sangat kuat itu, seorang Amien Rais pun, yang beberapa waktu lalu rajin mengeritik SBY, sampai merasa perlu menegaskan dukungan PAN kepada ayah Edhy Baskoro itu.
Betapapun hebatnya, sudah pasti seseorang punya titik lemah. Terbukti setelah begitu lama tak terkalahkan, akhirnya Tyson takluk dari James Buster Douglas, seorang petinju yang sebelumnya tak pernah diperhitungkan. Federer juga akhirnya menyerah di tangan Rafael Nadal.
Itu artinya betapapun populer dan kuatnya posisi SBY saat ini, tak tertutup kemungkinan dia akan mengalami kekalahan. Dengan kata lain, walaupun peluang mengalahkan SBY relatif kecil, tapi bukan berarti sudah tertutup sama sekali.
Semuanya sangat tergantung pada siapa yang disiapkan koalisi PDIP untuk menghadapi SBY. Kalau masih ngotot mengedepankan Megawati : percayalah, SBY akan melenggang mulus…..! JK dipasangkan dengan Puan Maharani pun tidak akan bisa menahan laju SBY.
Tobat Jadi Politisi !
Saya sudah sekitar sepuluh tahun menjadi politisi. Saat ini saya merasa tengah memasuki tahapan jenuh, setengah menyesal, serta ingin segera bertobat alias kapok menjadi politisi.
Mengapa ? Karena budaya politik kita, belum memberi tempat dan peluang yang cukup luas, bagi mereka yang memiliki visi politik yang jelas, tapi kurang kuat dari segi finansial.
Selain itu carut marut pelaksanaan Pemilu 9 April 2009 lalu, juga melahirkan pessimisme. Tak cuma soal kacaunya DPT, maraknya praktik money politics dan lambannya kinerja KPU, memicu keputusasaan.
Karenanya jika saat ini banyak caleg yang berperilaku aneh, hal itu tak semata kesalahan mereka. Kekisruhan penyelenggaraan Pemilu dan sikap pemilih yang unpredictable dan cenderung irrasional, juga ikut menjadi faktor penyebab tobat serta stressnya para politisi itu.
Coba bayangkan, Mikekono yang sudah berada di daerah pemilihan (Kabupaten Labuhanbatu-Sumut) sehari jelang pencontrengan, seminggu pasca Pemilu, tak juga bisa mendapatkan secuil data pun di KPUD Kabupaten.
Penyebabnya, karena PPK/ PPS bekerja manual seperti di zaman poerbakala. Mereka sudah hampir seminggu melakukan rekapitulasi, tapi tak jelas kapan bisa tuntas seluruhnya.
Di sisi lain bertiup kencang rumor perihal dugaan kecurangan. Penggelembungan suara dimungkinkan terjadi, karena surat suara hasil pencontrengan terlalu lama mengendap di PPK.
Isu-isu seperti ini setiap saat sampai ke telinga caleg, wajar jika mereka stress dan setiap hari dihinggapi perasaan was-was. Mereka merasa telah bekerja maksimal, namun mendadak sontak bisa kesandung, gara-gara tak piawai bermain curang.
Jika sistem dan penyelenggaraan Pemilu kita, tetap amburadul dan kental nuansa rekayasa serta berbagai kecurangan separti saat ini, wadduuuh…..tobat deh jadi politisi.
Mending jadi pemerhati/ pengamat politik atau blogger saja. Menjadi politisi sungguh membuat banyak aspek tergerus. Tabungan amblas, pikiran kacau, stamina menurun, bahkan kegantengan juga menurun 10 persen. Hmmm 😦
Pasca Pemilu 2009, saya yakin akan banyak politisi yang jenuh, frustrasi, serta tobat menjadi politisi. Memang, kalau tak punya kesiapan mentalitas (iman), dana yang kuat, basis massa serta program yang jelas, sebaiknya jangan coba-coba jadi politisi…!
9 April nan Mencekam
Tanggal 9 April 2009 adalah saat-saat nan mencekam. Segala sesuatu bisa terjadi pada hari itu. 9 April bisa menyebabkan seseorang dan sekelompok orang tertawa, tapi bisa juga membuat mereka tertawa berkepanjangan, tiada henti.
Kamis 9 April itu tak cuma mencekam bagi para caleg. Tapi juga menjadi saat-saat yang ditunggu dengan penuh deg-degan oleh SBY, JK, Megawati, Prabowo, Wiranto, Soetrisno Bachir, dan lainnya.
Jika pada 9 April itu misalnya, hasil perhitungan beberapa hari kemudian, memperlihatkan hasil Partai-nya SBY (Demokrat) cuma memperoleh suara di bawah 10 persen, dapat dipastikan SBY dan para pendukungnya harus lintang pukang mencari parpol yang mau diajak koalisi.
Bahkan bisa jadi dengan raihan cuma di bawah 10 persen, parpol lain akan mikir 1000 kali untuk ikut bergabung ke dalam gerbong koalisi yang hendak dibangun SBY.
Begitu juga dengan JK, bukan hal mustahil pula kalau partai berlambang beringin itu kemudian anjlok suaranya, sehingga ia harus mengubur dalam-dalam niatnya untuk nyapres dan siap-siap untuk kembali bermitra dengan SBY.
Sebaliknya tak tertutup kemungkinan Partai Gerindra atau PAN akan memberikan kejutan, meraih persentase suara 10 hingga 15 persen, yang berdampak pada pergeseran peta koalisi calon presiden.
Begitulah, 9 April nan mencekam itu sekaligus akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Pilihan rakyat pada hari itu potensial akan melahirkan pimpinan nasional baru serta bisa jadi pula tetap akan mandeg pada status-quo.
Namun betapapun mencekamnya Pemilu 9 April nanti, yang paling potensial terkena serangan jantung dan ancaman stroke adalah para caleg. Sebab, caleg yang gagal dapat dipastikan tidak saja bisa terancam bangkrut, juga bisa menderita broken heart and broken home.
Sang caleg mungkin saja akan tabah menerima kekalahan. Tapi kaum kerabatnya (istri, suami, pacar, tunangan, anak, mertua, orangtua), belum tentu kuat menanggung beban psikologis dan penderitaan itu. Ohhhh……! 😥