Monthly Archives: April 2009

Anas Urbaningrum, Politisi Paling Ngetop 2009


anas_familyAnas Urbaningrum, layak disebut sebagai politisi paling bersinar dan paling ngetop 2009.  Sebelum dan pasca Pemilu Legislatif,  Anas sangat mendominasi media. Media elektronik pun seolah rebutan menampilkan dirinya sebagai jubir Demokrat, padahal dia termasuk newcomer di jajaran kepengurusan partai tersebut.

Politisi muda kelahiran Blitar 15 Juli 1969 ini, bisa disebut berjodoh dengan SBY. Seperti halnya SBY, Anas juga selalu tampil santun, cool, dan mampu menyampaikan gagasan cemerlangnya dengan sitematis dan mudah dipahami publik. Partai Demokrat sangat beruntung memiliki Anas Urbaningrum.

Karena berbagai kelebihannya itu, tidak terlalu mengejutkan jika Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY beberapa hari lalu, justru memberi kepercayaan kepada suami Athiyyah Laila itu untuk mewakili dirinya memberi keterangan pers kepada wartawan.

Padahal saat memberi keterangan pers di rumah pribadi SBY (Cikeas Bogor) itu, di sana terdapat nama-nama mentereng seperti Andi Mallarangeng, Syarif Hasan, Ruhut Sitompul plus Ketua Umum Hadi Utomo dan Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie.

Lalu mengapa SBY memilih Anas ? Penyebabnya tiada lain, karena ayah empat putra-putri ini memang terbukti selalu mampu memposisikan dirinya sebagai juru bicara partai yang memesona, komunikatif dan interaktif. Keberadaan Anas di Demokrat membuat SBY banyak terbantu, dalam hal pembangunan citra (image building) positif partai di mata khalayak.

Kiprah Anas yang demikian memikat, sehingga dirinya pantas dianggap sebagai politisi paling bersinar dan ngetop 2009, sekaligus calon pemimpin masa depan (Partai Demokrat) pasca SBY itu, tentu tidaklah terlalu mengejutkan.

Pasalnya sejak menjadi Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1997-1999, kiprah Anas memang sudah terlihat menonjol. Performancenya nan santun dan akomodatif mirip seniornya di HMI (Akbar Tanjung) itu, menyebabkan dirinya mudah berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Kapabilitas dan akseptabilitas Anas itulah membuat dirinya pasca sukses memimpin PB HMI, selanjutnya dipercaya menjadi anggota Tim Seleksi Parpol 1999 (Tim 11), anggota KPU 2001-2005, Ketua Yayasan Wakaf Paramadina 2006-sekarang dan Ketua Bidang Politik DPP Partai Demokrat.

Dengan reputasi dan posisinya sebagai salah satu ‘anak emas’  SBY itu, Anas sangat berpeluang menapaktilasi jejak sukses para politisi alumni HMI semisal Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Amien Rais, Ismail Hasan Metareum, Yusril Ihza Mahendra, Fahmi Idris, Bachtiar Chamsyah, MS Kaban, Mar’ie Muhammad, dll. Harus diakui, sejak puluhan tahun silam hingga kini, HMI memang selalu sukses melahirkan akademisi, politisi dan pemimpin handal.

Dengan atau tanpa SBY pun, sosok Anas tetap akan diperhitungkan dalam konstelasi politik negeri ini di masa mendatang. Pasalnya, pria berkacamata lumayan handsome ini bisa disebut sebagai politisi multitalented. Dia organisatoris handal,  komunikator mumpuni, sekaligus pelobi piawai, plus seorang intelektual yang sebentar lagi menyandang gelar Doktor (S3).

Perjalanan karier politik Bung Anas masih panjang. Kariernya  dipastikan akan terus melesat bak meteor. Tetapi jika tidak hati-hati, dia juga bisa mendadak sontak meredup lalu hilang dari peredaran. Semoga Anas tidak sampai terjungkal karena pesona harta dan wanita, sekaligus dapat memetik pelajaran dari peristiwa tragis yang menimpa seniornya mantan Ketua Umum PB HMI, M Yahya Zaini.

foto diambil dari sini

SBY, Tyson, and Federer


federerSBY sudah pasti beda dengan Mike Tyson atau Roger Federer. Tapi,  dari segi kekokohan posisinya saat ini, terdapat kesamaan antara SBY dengan Tyson dan Federer.

Di masa jayanya era 80-90 an, sangat sukar mencari lawan sepadan bagi si leher beton Mike Tyson. Demikian halnya Federer, sebelum Rafael Nadal betul-betul matang, tak satupun yang mampu menandingi kehebatan petennis Swiss itu.

Tyson dan Federer di masa jayanya benar-benar tak bisa ditandingi. Hal yang serupa tapi tak sama, kini berlaku bagi SBY. Saat ini, rasanya sulit mencari lawan sepadan bagi mertua Annisa Pohan itu, pada Pilpres nanti.

Kalau cuma berhadapan dengan Mega, hampir dapat dipastikan SBY akan dengan mudah mengalahkannya. Jika dihadapkan dengan Prabowo atau Sultan sekalipun, kelihatannya SBY tetap akan keluar sebagai pemenang.

2004 hingga 2014, tampaknya sudah ditakdirkan sebagai era kedigdayaan SBY. Berkat SBY pula, Partai Demokrat melesat bak meteor. Tanpa SBY, Partai Demokrat tentu tidak akan sehebat sekarang.

Karena posisinya yang sangat kuat itu, seorang Amien Rais pun, yang beberapa waktu lalu rajin mengeritik SBY, sampai merasa perlu menegaskan dukungan PAN kepada ayah Edhy Baskoro itu.

Betapapun hebatnya, sudah pasti seseorang punya titik lemah. Terbukti setelah begitu lama tak terkalahkan, akhirnya Tyson takluk dari James Buster Douglas, seorang petinju yang sebelumnya tak pernah diperhitungkan. Federer juga akhirnya menyerah di tangan Rafael Nadal.

Itu artinya betapapun populer dan kuatnya posisi SBY saat ini, tak tertutup kemungkinan dia akan mengalami kekalahan. Dengan kata lain, walaupun peluang mengalahkan SBY relatif kecil,  tapi bukan berarti sudah tertutup sama sekali.

Semuanya sangat tergantung pada siapa yang disiapkan koalisi PDIP untuk menghadapi SBY. Kalau masih ngotot mengedepankan Megawati : percayalah, SBY akan melenggang mulus…..! JK dipasangkan dengan Puan Maharani pun tidak akan bisa menahan laju SBY.

Tobat Jadi Politisi !


Saya sudah sekitar sepuluh tahun menjadi politisi. Saat ini saya merasa tengah memasuki tahapan jenuh, setengah menyesal, serta ingin segera bertobat alias kapok menjadi politisi.

Mengapa ? Karena budaya politik kita, belum memberi tempat dan peluang yang cukup luas, bagi mereka yang memiliki visi politik yang jelas, tapi kurang kuat dari segi finansial.

Selain itu carut marut pelaksanaan Pemilu 9 April 2009 lalu, juga melahirkan pessimisme. Tak cuma soal kacaunya DPT,  maraknya praktik money politics dan lambannya kinerja KPU, memicu keputusasaan.

Karenanya jika saat ini banyak caleg yang berperilaku aneh, hal itu tak semata kesalahan mereka. Kekisruhan penyelenggaraan Pemilu dan sikap pemilih yang unpredictable dan cenderung irrasional, juga ikut menjadi faktor penyebab tobat serta stressnya para politisi itu.

Coba bayangkan, Mikekono yang sudah berada di daerah pemilihan (Kabupaten Labuhanbatu-Sumut)  sehari jelang pencontrengan, seminggu pasca Pemilu, tak juga bisa mendapatkan secuil data pun di KPUD Kabupaten.

Penyebabnya, karena PPK/ PPS bekerja manual seperti di zaman poerbakala. Mereka sudah hampir seminggu melakukan rekapitulasi, tapi tak jelas kapan bisa tuntas seluruhnya.

Di sisi lain bertiup kencang  rumor perihal dugaan kecurangan. Penggelembungan suara dimungkinkan terjadi, karena surat suara hasil pencontrengan terlalu lama mengendap di PPK.

Isu-isu seperti ini setiap saat sampai ke telinga caleg,  wajar jika mereka stress dan setiap hari dihinggapi perasaan was-was.  Mereka merasa telah bekerja maksimal, namun mendadak sontak bisa kesandung, gara-gara tak piawai bermain curang.

Jika sistem dan penyelenggaraan Pemilu kita, tetap amburadul dan kental nuansa rekayasa serta berbagai kecurangan separti saat ini, wadduuuh…..tobat deh jadi politisi.

Mending jadi pemerhati/ pengamat politik atau blogger saja. Menjadi politisi sungguh membuat banyak aspek tergerus. Tabungan amblas, pikiran kacau, stamina menurun, bahkan kegantengan juga menurun 10 persen. Hmmm  😦

Pasca Pemilu 2009, saya yakin akan banyak politisi yang jenuh, frustrasi, serta tobat menjadi politisi. Memang, kalau tak punya kesiapan mentalitas (iman), dana yang kuat, basis massa serta program yang jelas, sebaiknya jangan coba-coba jadi politisi…!

9 April nan Mencekam


Tanggal 9 April 2009 adalah saat-saat nan mencekam. Segala sesuatu bisa terjadi pada hari itu. 9 April bisa menyebabkan seseorang dan sekelompok orang tertawa, tapi bisa juga membuat mereka tertawa berkepanjangan, tiada henti.

Kamis 9 April itu tak cuma mencekam bagi para caleg. Tapi juga menjadi saat-saat yang ditunggu dengan penuh deg-degan oleh SBY, JK, Megawati, Prabowo, Wiranto, Soetrisno Bachir, dan lainnya.

Jika pada 9 April itu misalnya, hasil perhitungan beberapa hari kemudian, memperlihatkan hasil Partai-nya SBY (Demokrat) cuma memperoleh suara di bawah 10 persen, dapat dipastikan SBY dan para pendukungnya harus lintang pukang mencari parpol yang mau diajak koalisi.

Bahkan bisa jadi dengan raihan cuma di bawah 10 persen, parpol lain akan mikir 1000 kali untuk ikut bergabung ke dalam gerbong koalisi yang hendak dibangun SBY.

Begitu juga dengan JK, bukan hal mustahil pula kalau partai berlambang beringin itu kemudian anjlok suaranya, sehingga ia harus mengubur dalam-dalam niatnya untuk nyapres dan siap-siap untuk kembali bermitra dengan SBY.

Sebaliknya tak tertutup kemungkinan Partai Gerindra atau PAN akan memberikan kejutan, meraih persentase suara 10 hingga 15 persen, yang berdampak pada pergeseran peta koalisi calon presiden.

Begitulah, 9 April nan mencekam itu sekaligus akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Pilihan rakyat pada hari itu potensial akan melahirkan pimpinan nasional baru serta bisa jadi pula tetap akan mandeg pada status-quo.

Namun betapapun mencekamnya Pemilu 9 April nanti, yang paling potensial terkena serangan jantung dan ancaman stroke adalah para caleg. Sebab, caleg yang gagal dapat dipastikan tidak saja bisa terancam bangkrut,  juga bisa menderita broken heart and broken home.

Sang caleg mungkin saja akan tabah menerima kekalahan. Tapi kaum kerabatnya (istri, suami, pacar, tunangan, anak, mertua, orangtua), belum tentu kuat menanggung beban psikologis dan penderitaan itu. Ohhhh……!  😥